JAWATIMUR, KLIKNEWS.CO.ID – Malam 1 Suro kerap dianggap sebagai malam sakral, penuh makna spiritual, dan diyakini sebagai waktu yang tepat untuk membersihkan diri dari sifat-sifat angkara murka. Banyak orang memanfaatkannya untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta melalui doa, tirakat, hingga laku batin.

Namun, tidak sedikit pula yang justru menjadikan malam ini sebagai panggung pencitraan. Mereka tampil dengan blangkon, gelang, kalung batu, dan duduk di ruangan penuh pusaka, seolah-olah sosok spiritual sejati. Padahal, menjadi tokoh spiritual bukanlah perkara penampilan semata.

Di sejumlah daerah di Jawa Timur, salah satu warga mulai mempertanyakan sosok yang kerap mengaku sebagai tokoh spiritual. Keberadaannya mencolok hanya saat malam 1 Suro, menimbulkan kesan memanfaatkan momentum demi popularitas.

“Spiritualitas itu bukan soal aksesoris. Itu soal ilmu, laku, dan dampak nyata. Ada proses panjang yang harus dijalani, bukan instan,” ujar seorang sesepuh di Kecamatan Beji, yang meminta identitasnya dirahasiakan. Minggu (29/06)

Ia lalu menceritakan kisah Mbah Ro (nama samaran), seorang petani sederhana yang telah bertahun-tahun menjalani kehidupan spiritual secara senyap. Tanpa publikasi, tanpa memamerkan diri, ia bertirakat dan membantu warga secara tulus.

Dampak kehadiran Mbah Ro dirasakan nyata oleh masyarakat. Ia kerap dimintai pendapat dalam musyawarah, menjadi penengah dalam konflik, dan selalu mendoakan desanya dalam diam. Kebijaksanaannya tumbuh dari pengalaman hidup dan ketulusan hati.

“Yang seperti itu yang layak disebut tokoh spiritual. Bukan yang muncul setahun sekali, tapi yang selalu hadir kapan pun dibutuhkan, dengan hati bersih dan niat yang lurus,” lanjut sang sesepuh.

Sesungguhnya, malam 1 Suro bukan ajang unjuk pusaka atau ramai-ramai ritual. Ini adalah tentang kesadaran diri dan upaya untuk menjadi manusia yang lebih baik. Spiritualitas sejati tumbuh dari ketulusan, bukan dari simbol.

(red)