PASURUAN, KLIKNEWS – Belum lama ini beberapa Jurnalis dan NGO Kabupaten Pasuruan, swadaya mengumpulkan dana untuk membelikan pulsa atau paket internet bagi pejabat penting di tubuh Jajaran Polres Pasuruan. Diantaranya, Kasat Reskrim, Kanit Tipikor, Kanit Ekonomi.
Mereka mengumpulkan dana pembelian pulsa bukan tanpa alasan, karena seringnya konfirmasi terkait kasus perkembangan yang ditangani tak pernah ada jawaban atau klarifikasi. Hal ini tentunya akan menjadi ‘ghosting’ atau mengabaikan masyarakat terlebih kepada Insan Pers sebagai kontrol sosial.
Direktur Pusat Study Advokasi Kebijakan (Pus@ka), Lujeng Sudarto menilai, perilaku demikian akan semakin memperburuk citra negatif institusi Polri di mata masyarakat, karena kepolisian adalah institusi publik, maka aparatur kepolisian semestinya juga harus lebih terbuka kepada publik, apalagi jika berkaitan hak jurnalis untuk mendapatkan informasi dari kasus-kasus yang sedang ditangani dan menjadi atensi publik.
“Sikap tertutup dan tidak responsif kepada publik atau untuk kepentingan kerja-kerja jurnalistik itu identik dengan kepolisian dengan paradigma kuno dan cenderung feodal dan sikap yang tidak transparan. Cenderung ghosting itu malah memunculkan prasangka publik yang tidak baik kepada aparatur Polres Pasuruan, bahwa mereka transaksional, dan selanjutnya akan menumbuhkan Public Distrust atau ketidakpercayaan publik,” terangnya. Jumat (12/07/2024)
Pus@ka juga menilai, dalam hal pemberantasan pada Domain White Collar Crime atau kasus-kasus besar, seperti penanganan tambang ilegal, penanganan kasus pupuk bersubsidi dimana Polres Pasuruan sudah menetapkan satu tersangka (LR 36thn), namun tak pernah ditahan. Hal ini menimbulkan paradikma terkesan lelet dan rapornya jeblok.
“Polres Pasuruan hanya puas memamerkan keberhasilannya dengan memampang pelaku street crime (Kejahatan Jalanan) dalam pemberitaan ke masyarakat. Padahal kata Lujeng, white collar crime (Kejahatan Kerah Putih) dampaknya lebih besar ke Masyarakat,” tegasnya Lujeng Sudarto Direktur Pus@ka. (Mal/red)