JAWA TIMUR, KlikNews.co.id – Di tengah derasnya arus informasi, profesi wartawan seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga marwah kebenaran. Namun sayangnya, belakangan ini muncul fenomena yang memprihatinkan, pemberitaan yang disusun bukan lagi berlandaskan fakta, melainkan dijadikan alat kepentingan semata. Lebih tragis lagi, media justru digunakan untuk menakuti lawan maupun korbannya.

Seharusnya, dalam menjalankan tugas jurnalistik, wartawan wajib menjunjung tinggi prinsip verifikasi dan keberimbangan. Kode etik jurnalistik bukan hanya panduan moral, tapi juga fondasi utama dalam menjaga kepercayaan publik terhadap media. Namun, tak sedikit yang menyimpang. Mereka lebih memilih menggiring opini daripada menyajikan data yang objektif.

Wartawan asal Surabaya, Muhammad Ismail, menyayangkan praktik pemberitaan yang kini lebih banyak diarahkan untuk menyerang ketimbang mengedukasi.

“Saya melihat sendiri bagaimana berita bisa ditulis hanya berdasarkan narasi satu pihak, tanpa konfirmasi. Ini sangat berbahaya,” kata Ismail sapaan akrabnya. Senin (02/06)

Menurutnya, kaidah jurnalistik telah diabaikan oleh sebagian rekan seprofesi demi mengejar kepentingan tertentu. Ia mengatakan, “Berita harus ditulis berdasarkan fakta, bukan asumsi atau tekanan dari pihak luar. Kalau wartawan mulai menakuti narasumber atau lawan politik, itu sudah menyimpang dari profesi mulia ini.”

Wartawan dari media online, Andika Arif Rahman, juga menyoroti tren penggiringan opini yang dilakukan oleh sebagian kalangan media. “Banyak berita yang sengaja dibentuk untuk menjatuhkan pihak tertentu. Ini bukan lagi produk jurnalistik, tapi alat untuk menyerang,” tegas Dika, wartawan Surabaya.

Ia mengaku pernah menyaksikan sendiri, bagaimana tulisan diminta untuk ‘mengarah’ ke sisi negatif demi menciptakan tekanan publik terhadap seseorang. “Berita seperti itu seolah menjadi senjata, bukan informasi. Karakter orang dihancurkan hanya lewat paragraf,” tambahnya.

Sementara itu, Malik Husein, menilai bahwa fenomena pembunuhan karakter lewat tulisan adalah bentuk krisis integritas dalam dunia pers. “Banyak dari kita yang lupa, bahwa profesi ini tidak bisa dijalankan hanya dengan kepentingan pribadi atau tekanan pihak luar,” ujarnya.

Junaidi menyampaikan, harapannya agar wartawan kembali mengedepankan proses verifikasi dan cover both sides dalam setiap tulisan. “Kalau kita menulis hanya untuk menyenangkan satu pihak, maka kita bukan lagi jurnalis, tapi perpanjangan tangan kekuasaan,” ujarnya tegas.

Di tengah kondisi ini, penting bagi semua insan pers untuk kembali pada jati diri profesinya, menyampaikan kebenaran, menyuarakan kepentingan publik, dan menjadi penyeimbang informasi. Wartawan bukan alat kekuasaan, bukan pula pedang untuk mengintimidasi.

Kini, lebih dari sebelumnya, publik berharap media kembali menjadi ruang edukatif, bukan arena konflik kepentingan. Kebenaran seharusnya tetap menjadi tujuan utama, bukan dikaburkan demi keuntungan sepihak.

Masyarakat pun mulai cerdas memilah informasi. Mereka menuntut kejujuran, bukan sensasi. Karena pada akhirnya, integritas adalah warisan paling berharga yang harus dijaga oleh setiap jurnalis sejati.

(red)