PROBOLINGGO, KLIKNEWS.CO.ID – Pemberitaan yang diterbitkan di media, baik cetak maupun online, merupakan bagian dari karya jurnalistik yang dilindungi undang-undang. Namun, tak jarang isi berita menuai reaksi dari pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Hal ini dialami oleh Arini, seorang jurnalis media online, setelah menerbitkan berita berjudul “Konflik Tambang Galian C di Kabupaten Probolinggo Kembali Mencuat”. Berita tersebut membahas konflik tambang di Desa Pandean, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, yang melibatkan dua pengusaha tambang, LH dan H alias S.

Sejak berita itu tayang di beberapa media online, Arini mengaku menerima banyak panggilan dari orang-orang yang mengklaim sebagai pihak LH. Salah satunya seseorang yang memperkenalkan diri sebagai CY.

“Setelah berita tayang, saya mendapat banyak telepon dari orang-orang yang mengaku orangnya LH, termasuk seseorang bernama CY,” ujar Arini.

Tak hanya itu, pada Minggu (16/3/2025), LH juga menghubungi Arini melalui WhatsApp. Namun, karena nada komunikasi yang dirasa kurang nyaman, Arini memilih untuk tidak mengangkat panggilan tersebut dan meminta komunikasi dilakukan melalui pesan singkat.

“LH menelepon saya berkali-kali, tapi saya tidak angkat karena bahasanya sejak awal sudah tidak mengenakkan. Saya akhirnya mengirimkan link berita dan meminta agar komunikasi dilakukan melalui chat,” ungkapnya.

Arini,  merasa diintimidasi akibat rentetan panggilan dan pesan yang ia terima. Ia pun berbagi keluh kesah kepada sesama jurnalis di Probolinggo serta Ketua Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) Probolinggo Raya, Solehuddin.

Solehuddin membenarkan, adanya keluhan Arini dan menegaskan bahwa jurnalis dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh undang-undang.

“Seharusnya, jika ada pihak yang keberatan dengan pemberitaan, mereka bisa menggunakan hak jawab atau klarifikasi, bukan dengan tindakan intimidasi,” ujar Solehuddin.

Ferdi, salah satu jurnalis di Probolinggo, juga berharap agar tidak ada lagi bentuk intimidasi terhadap wartawan.

“Wartawan boleh meminta izin untuk koreksi atau hak jawab sebelum berita disebarkan, dan itu tidak melanggar aturan. Namun, jika seorang jurnalis mengirimkan narasi atau tangkapan layar berita kepada pihak yang diberitakan sebelum tayang, itu justru melanggar kode etik jurnalistik dan bisa dianggap sebagai bentuk tekanan,” jelas Ferdi.

Kasus ini menyoroti pentingnya perlindungan bagi jurnalis agar dapat bekerja tanpa tekanan dan ancaman dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan.

(mal/fer/red)