Pasuruan, Kliknews.co.id – Kepala Desa Wonosari, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan, Imanuel Herlambang Santoso, menegaskan tidak ada praktik pungutan liar dalam pelaksanaan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di desanya. Ia menyebut tudingan tersebut tidak berdasar dan telah menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat.
Menurut Herlambang, langkah pemerintah desa justru bertujuan membantu warga agar bisa memiliki sertifikat atas tanah yang selama puluhan tahun mereka tempati di atas lahan bondo desa. Ia menegaskan, segala bentuk biaya yang timbul dalam proses tersebut sudah melalui kesepakatan bersama dan bukan keputusan sepihak pemerintah desa.
“Semua biaya sudah disepakati bersama dalam musyawarah. Tidak ada istilah pungli. Justru warga sendiri yang berinisiatif melakukan iuran untuk mengganti tanah bondo desa yang mereka tempati agar aset desa tidak berkurang,” tegas Herlambang.
Terkait dengan pemeriksaan oleh Kejaksaan Negeri Kabupaten Pasuruan, Herlambang mengaku telah memenuhi panggilan penyidik bersama beberapa pihak terkait. Ia menyebut pemanggilan tersebut sebatas klarifikasi, bukan karena adanya pelanggaran hukum.
“Benar, kami sudah dimintai keterangan. Tapi perlu ditegaskan, hal itu bukan berarti ada pungli. Semua proses sudah sesuai aturan dan melalui berita acara yang ditandatangani bersama masyarakat, BPD, serta tokoh desa,” ujarnya tegas.
Sementara itu, Ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas) PTSL Desa Wonosari, Heru, juga menolak adanya tudingan miring tersebut. Ia menjelaskan bahwa sejak awal program dijalankan pada tahun 2022, warga menunjukkan antusiasme tinggi karena program PTSL memberikan kepastian hukum atas tanah mereka.
Heru menyebut, seluruh peserta program PTSL sepakat untuk melakukan iuran guna membeli lahan pengganti agar tanah desa yang digunakan warga tetap terjaga statusnya. Kesepakatan itu bahkan tertuang dalam berita acara resmi dan diketahui oleh pihak desa serta tokoh masyarakat setempat.
“Kesepakatan sudah jelas sejak awal. Semua tahu dan menyetujui. Anehnya, setelah program berjalan lebih dari tiga tahun, baru muncul keberatan. Kalau memang ada yang tidak setuju, seharusnya disampaikan saat musyawarah pertama,” herannya.
Menurut Heru, besaran iuran yang dikumpulkan warga tidak bersifat serupa karena disesuaikan dengan kemampuan ekonomi dan luas tanah masing-masing. Ia menegaskan tidak ada unsur paksaan dalam pelaksanaannya.
“Nilainya bervariasi, tergantung kemampuan warga. Tidak ada yang dipaksa. Semua dilakukan secara terbuka dan berdasarkan hasil mufakat,” tandas Heru.
(mal/lum)









Tinggalkan Balasan