PASURUAN, KLIKNEWS – Dalam berpolitik sebutan ‘kutu loncat’ menjadi hal yang sering diungkapkan bagi politisi yang memilih jalur politiknya dalam mencapai hasrat politik dengan langkah berpindah partai atau bergabung dengan pihak oposisi dari partai sebelumnya.

Seperti dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Pasuruan 2024 kali ini. Dimana Partai PKB telah menentukan sikap untuk mengusung Mujib Imron, sebagai Bakal Calon Bupati Pasuruan 2024. Namun, terdapat politisi senior PKB yang juga terpilih menjadi Anggota DPRD Kabupaten Pasuruan 2024, Sobih Asrori, malah dipinang menjadi Bacawabup dari Partai Gerindra mendampingi Rusdi Sutejo.

Menyikapi dinamika politik yang terjadi pada Pilkada 2024 Kabupaten Pasuruan tersebut, Lujeng Sudarto, Aktivis yang sering memberi kritik terhadap kebijakan Pemkab Pasuruan ikut angkat suara.

Lujeng menilai, masyarakat Pasuruan berhak mendapatkan edukasi tentang etika politik yang kemudian menjadi keputusan untuk memilih siapa calon pemimpin yang tepat untuk Kabupaten Pasuruan.

Menurutnya, pemecatan terhadap Gus Sobih dari PKB karena memilih mengikuti kontestasi Pilkada melalui partai lain, lantaran PKB memiliki jago sendiri adalah sesuatu yang wajar dan lumrah.

“Saya kira Gus Sobih sudah tahu resikonya jika kemudian ada reaksi organisatoris dari PKB. Gus Sobih nyalon dari partai lain adalah hak politik yang bersangkutan. Dan selanjutnya PKB memberi sanksi pemecatan sebagai bentuk sikap menjaga marwah partai juga sesuatu yang logis,” paparnya.

Lujeng Sudarto, Direktur Pusat Study Advokasi dan Kebijakan (Pus@ka), juga memberi pemahaman bahwa fakta penyeberangan Gus Sobih dan reaksi pemecatan dari PKB itu juga hak publik untuk melakukan penilaian secara kritis.

“Apakah pilihan politik Gus Sobih dinilai sebagai oportunisme politik kutu loncat, apakah itu dinilai sebagai kewajaran dalam sistem politik demokrasi sepenuhnya adalah hak publik,” sambungnya.

Begitu pula pada pemecatan yang dilakukan oleh PKB, Lujeng melanjutkan, akan dinilai sebagai hal yang reaktif dan berlebihan atau akan dinilai sebagai upaya penegakan aturan berpartai juga hak publik.

“Tetapi saya menilai secara paradigmatik, sekalipun hak politik itu intrinsik dalam berdemokrasi. Namun, yang paling penting ialah berpartai atau berpolitik itu membutuhkan etika,” imbuh Lujeng.

Sedangkan, ideologi dalam berpolitik perlu ditanamkan karena hal tersebut mempengaruhi etika politik yang melekat pada seorang politisi.

“Fenomena kutu loncat itu menandakan bahwa sinyalemen dari filsuf Daniel Bell, bahwa ideologi telah mati ; the end of ideology itu menjadi faktual karena disebabkan banyak politisi yang tidak punya prinsip ideologi yang jelas,” tutupnya. (mal/ayb/red)